1. Assalamualalikum ustadz, Istri saya
sedang mengandung dan kami berencanakan untuk mengadakan SELAMATAN TUJUH
BULANAN di mana akan memanggil Ibu-ibu untuk melakukan pengajian dan doa
bersama sesuai kebiasaan yang salama ini dilakukan. Harapan kami agar bayi
nanti lahir dengan selamat dan menjadi anak yang sholeh. Mohon penjelasan
ustadz apakah selamatan tujuh bulanan itu memang dianjurkan di agama Islam.
Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Rohmat
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Di negeri kita dan juga di banyak negeri Islam yang lain memang banyak
berkembang campur aduk tradisi dengan agama. Sedemikian semaraknya percampuran
tersebut, hingga nyaris sulit bagi kita membedakannya, mana yang tradisi dan
mana yang syariah.
Di antara fenomena itu adalah uparaca tujuh bulan kehamilan bayi dalam
kandungan. Ada sekian banyak variasi dari yang paling wajar hingga yang paling
bertentangan dengan syariah. Yang paling wajar mungkin sekedar kumpul, makan
dan ditutup dengan baca doa. Yang kurang wajar bila ditambahi dengan ritual
yang cenderung kepada kemusyrikan. Yang kedua ini memang pada dasarnya sudah
terlarang dan harus dijauhi.
Mungkin isinya bisa dikemas secara positif dan bermanfaat. Namun yang jadi
masalah adalah justru pada penggunaan momentum tujuh bulan itu sendiri. Sebab
pemanfaatan momentum tujuh bulan ini pada hakikatnya tidak bersumber dari
agama, melainkan dari tradisi yang barangkali sejarahnya memang bersifat sakral
dan magis. Sehingga banyak kalangan ulama yang mengharamkannya, meski isi acara
tersebut bermanfaat.
Yang agak sedikit moderat barangkali adalah mereka yang dalam keadaan
diharuskan menyelenggarakannya, mungkin karena tekanan dan desakan orang tua
yang sulit dihindari begitu saja, namun diselamatkan dari sisi kemasan acara.
Sehingga meski judulnya acara tujuh bulanan, namun kemasan acaranya menjauhi
hal-hal yang mungkar, sebaliknya malah diisi dengan ceramah agama, sedekah,
silaturrahim atau hal-hal bermanfaat lainnya. Dan ini hanya sekedar upaya
menyelamatkan saja, niat awalnya bukan semata-mata ingin melestarikan tradisi.
Tapi yang agak sedikit ketat memang langsung mengharamkannya secara total. Bagi
kalangan mereka, apapun isi kemasan acaranya, kalu sudah menyangkut istilah
tujuh bulan, langsung divonis haram, bid'ah dan sesat. Pendekatan yang seperti
ini sebenarnya ada sisi baiknya, yaitu umat dengan mudah dan cepat segera
mengetahui antara yang haq dan yang batil. Tapi kekurangannya barangkali pada
sisi salah paham yang seringkali muncul. Lantas menimbulkan antipati dan
bermuara kepada stigmatisasi. Sehingga muncul dua blok, yaitu blok anti tujuh
bulanan dan blok pendukung tujuh bulanan.
Jadi perlu ada terobosan dengan cara lain agar tidak terjadi stagnasi dua
pihak. Dan itu adalah diantara agenda dakwah di tengah masyarkat yang perlu
dipikirkan baik-baik, matang dan cermat. Intinya, bagaimana kita bisa kembali
kepada sunnah yang shahih, namun dengan metode transformasi yang konstruktif,
efisien dan elegan. Semoga Allah SWT memudahkan jalan kita, Amien.
Wallahu a'lam bish-shawab
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
2. [keluarga-islam] Re: Hukum Melakukan
7 Bulanan -> Ridwan
Perspektif dari si ncep,,,
Pertama, saya tidak setuju dengan acara 7 bulanan adalah suatu
ibadah dan menjadi keharusan
Kedua, tetapi bisa menjadi ladang
pahala apabila kita mengumpulkan orang untuk datang ke rumah, mengajak
mengaji/membaca Al Qur'an bersama, lalu terakhir meminta bila dimungkinkan agar
mendoakan almarhum dan saudara-saudara yang telah meninggal,anak
,keluarga istri,ibu bapak kakek nenek, lingkungan, dan masyarakat sekitar,
bahkan semua kaum muslim yg telah mendahului ,ini tidak menjadi sebuah ritual,
tapi bisa dijadikan kapan saja karena mau 7 bulan, mau 3 bulan, mau
1+1/2 tahun, bisa kapan saja , dan supaya tidak
dianggap tujuh bulanan maka adakan saja pada hari ke 133,5 1/4 hari jam 7 malam
sehabis isya
Ketiga, yang menganggap pahala tidak
akan sampai adalah berdasarkan hadist dan Qur'an yang telah dijelentrehkan oleh
mas wandy,
Keempat, yang menganggap bahwa pahala
dan sedekah bisa sampai adalah
seperti yang telah dijelentrehkan dari hadist mas naufal "yang selalu
bertanya dan tidak akan sesat di jalan",tapi orangnya ganteng, jadi
masing-masing memiliki pemahaman dan dasar argumen
Kelima,Perbedaan itu biasa asal jangan
memaksakan,dan yang kita bicarakan bukan sesuatu ritual , tapi beginilah KI
yang perlu ada dinamika dan lebih baik daripada selalu adem ayem, dan kalau
bukan karena adanya kang wandy dan kang Ridwan dan member lain yang berbeda
argumen maka kita tidak menjadi dewasa dan mengenal perbedaan yang ada, bila
semua selalu setuju maka lebih baik kembali ke jaman ORBA saja dengan koor
setujuuuuuuuu, TOK !!! palu diketuk,,,,wis bubar
wassalam
KnC
--- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "wandysulastra" [EMAIL
PROTECTED]> wrote:
Okey, jika anda tidak bersedia merenunginya, maka saya akan coba membantu anda mengambil beberapa point
penting dari postingan tersebut. Sayang kan, kalau Kang Nceps mencoba
mempostingkan suatu informasi/ilmu, eh ternyata tidak ada yang membaca dan merenunginya..
Pertama, disitu disebutkan:
> Umumnya para ulama mengaitkan bid`ah itu dengan masalah ubudiyahatau
ibadah mahdhah. Yaitu jenis ibadah yang bersifat sakral dan seremonial. Sebab
dan tata aturannya tidak bisa diterangkan dengan pendekatan logika, tetapi
merupakan sunnah atau perintah yang bersifat syar`i.
> Kedua, disebutkan:
> Acara 7 bulanan tidak pernah ada dalam syariat Islam. Karena memang tidak
disyariatkan. Maka tidak pernah ada keterangan untuk itu.
> Ketiga, ini merupakan point terpenting:
> Sehingga kalau acara 7 bulanan diada-adakan dengan niat sebagai bagian
dari ibadah, maka jatuhlah sebagai bid`ah. Karena tidak ada
> dasarnya dari syariat Islam. Namun bila dilakukan tanpa
mengharapkan
> pahala apa-apa dan juga sama sekali bukan diniatkan ibadah, maka
> bukan termasuk bid`ah. Masalahnya, buat apa kita mengerjakan
sesuatu
> yang tidak ada nilai ibadahnya. Padahal untuk menyelenggarakan
acara
> itu pastilah butuh pengeluaran dana. Bukankah hal itu malah sia-
sia
> belaka ? Bukankah yang punya nilai ibadah dan jelas dasar
syariatnya
> masih banyak yang belum kita kerjakan ? Lalu mengapa kita harus
> memaksakan diri mengerjakan sesuatu yang tidak ada dasar
syariatnya ?
> Selain itu, bagaimana membedakan niat seseorang ketika melakukan
> acara 7 bulanan itu antara niat ibadah atau sekedar ikut-ikutan belaka ?
>
> Begitu juga pendapat saya mengenai Acara Tahlil kematian, itu
adalah
> merupakan tradisi belaka, karena tidak ada dalil yang menunjukan
> bahwa nabi dan para sahabat melakukan hal itu. Tapi apakah hal itu
> termasuk bid'ah? Jawabannya sama seperti acara 7 bulanan, Iya,
jika
> diniatkan untuk beribadah.
>
> Tapi kemudian ada hadits yang berbunyi bahwa menghidangkan
> makanan dalam upacara kematian adalah termasuk meratap yang
dilarang
> oleh agama, sebagaimana hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dari
> Jabir bin Abdullah Al Bajali dengan sanad yang shohih:
> "Adalah kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah
ahli
> mayyit dan mereka menyediakan makanan sesudah mayyit dimakamkan
> adalah termasuk perbuatan meratap".
>
> Riwayat lain menerangkan: Bahwa Jarir datang kepada Umar ra, lalu
> Umar bertanya:"Adakah mayyit kalian diratapi? Dia menjawab: Tidak,
> lalu bertanya juga: Adakah orang-orang berkumpul di keluarga
mayyit
> dan membuat makanan? Dia menjawab: ya, maka Umar berkata:" Yang
> demikian adalah ratapan"(Al Mugni Ibnu Qudamah zuz 2 hal 43).
>
> Dari dalil2 ini berarti dapat disimpulkan bahwa berkumpul
dikeluarga
> mayit yang mereka menyediakan hidangan untuk yang hadir adalah
> sesuatu yang dilarang menurut sunnah, walaupun hal itu tidak
> diniatkan untuk ibadah.
>
> Demikian pula menurut jumhur ulama termasuk didalamnya ulama2
> Syifi'iyah di dalam kitab yang menerangkan tentang maksud hadits
> diatas.
>
> Syi'ar adalah sesuatu yang dianjurkan dalam agama. Namun bukan
syiar
> yang melanggar sunnah tentunya.
>
> Begitupun Budaya, boleh saja kita kembangkan dan kita lestarikan,
> tapi kalau ternyata budaya tersebut menyalahi sunnah, kewajiban
> kitalah untuk tidak ikut melestarikannya.
>
> Masalah dunia silakan saja dikembangkan, karena menurut nabi kita
> sendirilah yang lebih tahu urusan dunia kita. Tapi kalau urusan
> ibadah, maka haruslah sesuai dengan apa yang dicontohkan nabi saw.
>
> Wallahu a'lam
>
> --- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "Ridwan"
wrote:
> >
> > mengapakah harus saya yang merenungi ? sedangkan itu merupakan
> postingan
> > kang ncep yang mengambil dari sebuah website, hanya kang ncep
> sendiri yang
> > tahu niatnya memposting hal tsb, bila didiskusikan pun akan
> terpentok pada
> > kalimat "itu bukan tulisan saya dan itu adalah pendapat si
fulan"
> >
> > dalam mengimplementasikan ajaran Islam bisa menjadikan budaya
> sebagai sarana
> > syiar yaitu agar muslim lebih dekat kepada kholik-NYA, bila ada
> yang tidak
> > sependapat tidak mengapa karena hanya sebuah budaya
> >
> >
> > ----- Original Message -----
> > From: "wandysulastra"
> > To:
> > Sent: Wednesday, May 17, 2006 1:11 PM
> > Subject: [keluarga-islam] Re: Hukum Melakukan 7 Bulanan -> Ridwan
> >
> >
Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah
Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus
diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu
kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit,
karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam
sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta
petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.
Setiap masyarakat memiliki tradisi
(adat)[1] tertentu yang berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Khususnya, pada masyarakat di Desa Sidomulyo[2] yang mayoritas penduduknya
adalah suku Jawa[3] dan beragama Islam memiliki tradisi (adat) Jawa yang
masih cukup kental, baik dalam persoalan tatacara perkawinan, tradisi
kematian, tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dalam masa kehamilan, tradisi
kelahiran dan lain-lain. Dalam penelitian ini, penulis khusus mengkaji proses
tradisi (adat) Jawa di Sidomulyo mengenai tujuh bulanan (tingkeban/mitoni).
Bagi masyarakat Jawa di Desa
Sidomulyo, aturan adat masih diperpegangi dan menjadi acuan dalam bersikap
atau berprilaku[4] atau disebut budi pekerti Jawa. Budi pekerti Jawa adalah
fenomena hati atau bathin secara sadar orang Jawa yang terpantul ke dalam
tindakan. Dengan demikian, budi pekerti Jawa berarti kesadaran total tentang
dunia bathin kejawaan dan praktek kejawaan. Dari makna semacam ini, dapat
dikemukakan bahwa budi pekerti Jawa merupakan watak dan perbuatan orang Jawa
sebagai perwujudan hasil pemikirannya.[5]
Makna semacam itu, tidak jauh
berbeda dengan pandangan Ki Hajar Dewantara bahwa budi pekerti adalah
merupakan prilaku seseorang yang didasarkan kepada kematangan jiwanya.
Kematangan jiwa akan melahirkan budi pekerti yang luhur. Budi pekerti luhur
artinya sikap dan prilaku seseorang di samping di dasarkan kematangan jiwa
(internal/daridalam) juga diselaraskan dengan qaedah social yang berlaku di
masyarakat sekitarnya (eksternal/dari luar).[6] Pendek kata orang yang
berbudi pekerti luhur dalam bertindak akan menggunakan perasaan, pemikiran
dan dasar pertimbangan yang jelas. Jelas, artinya ada bingkai yang mengatur
dan tidak ngawur semaunya sendiri serta berdasarkan akal sehat.
Jadi, budi pekerti Jawa dengan
sendirinya merupakan akumulasi dari cipta rasa-karsa orang-orang Jawa yang
diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi
pekerti Jawa ini akan menggambarkan tabiat, watak, akhlak, dan moral,
sekaligus mencerminkan sikap bathin seseorang. Sikap bathin ini yang akan
tercermin dalam tingkah laku seseorang. Pencerminan bathin tersebut dalam
wawasan religius disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan yang mulia),
sedangkan dalam budaya Jawa disebut budi pekerti luhur. Orang Jawa yang
berbudi pekerti luhur, pada dasarnya sikap dan prilakunya akan dilandasi
pertimbangan baik dan buruk, kemudian memilih ke hal baik untuk
dijalankannya.
Sebagaimana wawancara penulis
dengan para sesepuh adat di Desa Sidomulyo, salah seorangnya adalah Bapak
Pardi[7] yang mengatakan bahwa orang Jawa yang masih melakukan tradisi (adat)
Jawa atau yang masih berprilaku sebagaimana budi pekerti orang Jawa, maka ia
akan selalu melakukan kebaikan. Apalagi, agamanya Islam maka apa yang dia
lakukan tidak akan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sebab, aturan
dalam adat istiadat Jawa memiliki muatan-muatan nilai yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam setiap tradisi (adat) Jawa mengandung
filosofis yang berkesesuaian dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Seperti
dalam tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni), mengandung nilai pengajaran
hidup yang luar biasa dan tradisi ritual masyarakat Jawa ini tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Hal inilah yang menarik bagi
penulis untuk menelitinya lebih lanjut bagaimana proses tujuh bulanan
(tingkeban/mitoni) yang dilakukan masyarakat Jawa Muslim di Desa Sidomulyo.
|
4.
5.
Sidomulyo adalah sebuh Desa yang berada dalam wilayah kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara. Dari segi lokasi, desa ini masih merupakan sebuah desa
yang sangat dekat dengan garis pantai. Sebab, desa ini berbatasan dengan
kelurahan Pangkalan Dodek Lama, Pangkalan Dodek Baru, Desa sei Buah Keras,
dan Desa Nenassiam yang berbatasan langsung dengan garis sungai Pagurawan
yang berhubungan langsung dengan menuju lautan. Namun, mayoritas penduduk di
Sidomulyo bukanlah nelayan sebagaimana desa-desa yang lain yang berdekatan
dengan garis pantai, justru mata pencaharian penduduk adalah petani yang
mengolah tanahnya untuk ditanam padi walaupun hanya mengandalkan curah hujan
semata-mata. Hal ini, menjadikan social cultural masyarakat Jawa yang petani
di Sidomulyo berbeda dengan masyarakat lain yang notabene sebagai nelayan.
Nama Sidomulyo, terambil dari dua suku kata “Sido” dan “Mulyo”. Sido artinya
jadi dan Mulyo artinya mulia. Jadi, Sidomulyo adalah menjadi sebuah desa yang
memiliki kemuliaan baik dari segi materi maupun immateri. Menurut para
sesepuh di sana, konon Sidomulyo dahulu merupakan desa yang sangat disegani
dan memiliki banyak keistimewaan khususnya dari segi produktifitas pertanian,
peternakan, keamanan desa, kekayaan budaya Jawa (Seni wayang kulit, ludruk,
kuda kepang, dan lain-lain). Sehingga layaklah dinamakan Sidomulyo (menjadi
mulia).[8] Bisa dikatakan bahwa dari sudut pandang antropologis, desa
Sidomulyo dahulu termasuk desa yang superior dari kemakmurannya secara materi
dan immateri. Hal ini, tentunya juga masih dirasakan penulis sewaktu kecil
yang masih merasakan kenyamanan dan ketentraman dalam suasana Desa.[9]
Warga Desa Sidomulyo, menggunakan bahasa Jawa tapi kasar (ngukuh), sangat
sedikit sekali yang bisa berbahasa Jawa halus. Hal ini menunjukkan sudah
terjadi pergeseran nilai-nilai pada masyarakat sehingga tradisi (adat) Jawa
mulai terpinggirkan atau dinomorduakan. Namun, bukan dalam artian tradisi
(adat) Jawa di Sidomulyo telah hilang. Masih ada orang-orang Jawa yang
concern dengan tradisi Jawa itu sendiri walaupun jumlahnya sangat sedikit.
Rendahnya pengamalan masyarakat Jawa terhadap tradisinya ini juga membawa
rendahnya pengamalan orang Jawa yang notabene beragama Islam terhadap ajaran
agamanya tersebut. Hal ini, diakui oleh sesepuh masyarakat Jawa di Sidomulyo.
Akhirnya, saat sekarang ini kondisi Desa Sidomulyo tidak lagi seperti dahulu.
Di setiap aspek tidak lagi bisa dihandalkan, baik pertanian, peternakan,
budaya (culture), agama dan lain-lain. Hal ini disebabkan salah satu faktornya
adalah seiring hilangnya kesadaran masyarakat Jawa di Sidomulyo akan falsafah
hidup dalam budi pekerti Jawa.
|
6.
TRADISI
TUJUH BULANAN (TINGKEBAN)
|
7.
Landasan Historis
Tradisi tujuh bulanan atau tingkeban atau disebut juga mitoni yaitu upacara
tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh
bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu
ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama
Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu pun
tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri,
yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan
agar menjalankan tiga hal[10], yaitu:
Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta mandi menggunakan tengkorak
kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini
sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya
wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.”
Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara
menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau
Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah.
Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih)
selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan
menggunakan sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan
tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken
Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa
orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken
Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus
dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang
hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini
merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan.
Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan
suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik.
Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi
berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan
kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai
laku prihatin. Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila
warsa’, artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan
kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab
adalah berdoa agar bayinya lahir selamat.
Beberapa pantangan yang patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga
mengarah pada budi pekerti Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang
makan buah yang melintang (misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi
di perut tak melintang. Jika posisi melintang akan menyulitkan kelahiran
kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan kesehatan, karena buah kepel
sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila terlalu banyak akan berakibat
pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak boleh duduk di depan
pintu dan di lumping tempat menumbuk padi, sebenarnya memuat nilai etika
Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak dipandang tidak sopan, karena
posisi duduk demikian juga akan memalukan dan tidak enak dipandang.
Seorang suami yang dilarang menyembelih hewan, sebenarnya terkandung makna
budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk lain. penganiayaan juga merupakan
tindakan yang tak baik. Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau
meyembelih hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak
dan perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih
berhati-hati. Di samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak
mencacat atau membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat,
adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar pasangan tersebut
tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat.
Proses selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu
krobongan. Krobongan adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu)
dan pintunya menghadap ke timur, dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan
adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami ketika melahirkan anak nanti
harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah
hutan (pasren). Adapun maksud pintu krobongan menghadap ke timur, dapat
dikaitkan dengan asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya,
timur adalah permulaan hidup (sangkan paraning dumadi).
|
8.
9.
Khusus yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di Desa Sidomulyo, tentunya
sudah kombinasi dari berbagai macam tradisi dan ajaran. Melihat landasan
historis tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) yaitu berasal dari ajaran
agama Hindu bukan berarti apa yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang
notabene muslim di Sidomulyo adalah salah bentuk dari pengamalan ajaran agama
Hindu. Hal ini, hanya bentuk keterpengaruhan dan warisan dari pendahulu
(Seperti Sunan Kalijaga) yang berdakwah di tanah leluhur (pulau Jawa) dengan
melakukan transformasi ajaran Islam melalui budaya dan tradisi yang
berkembang dalam ajaran Hindu yang sudah terlebih dahulu dianut masyarakat
Jawa.
Hal ini diakui oleh sesepuh adat di Sidomulyo bahwa tradisi adat Jawa adalah
warisan dari para leluhur, seperti apa yang dilakukan oleh kanjeng Sunan
Kalijaga. Kalau kita lihat pola dakwah yang dikembangkan oleh kanjeng Sunan
Kalijaga adalah melalui tradisi atau budaya yang dianut oleh masyarakat kala
itu. Hal ini yang menjadi salah satu factor keberhasilan dakwah Islam
khususnya yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Makanya, dalam ritual
tradisi adat Jawa, seperti tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dalam pembukaan
yang dipimpin oleh sesepuh adat yang disebut ngujutne (pembukaan ritual)
selalu diterakan nama kanjeng Sunan Kalijaga. Sebagaimana yang dituturkan
oleh Bapak Pardi (Sesepuh Adat Jawa di Sidomulyo) kepada penulis.
Secara lengkap, dalam setiap ritual tradisi adat ada proses ngujutne terlebih
dahulu. Penulis dalam hal ini sering mengikuti tradisi ritual adat di
Sidomulyo dan sering mendengar bagaimana sesepuh adat itu memulai acara
tradisi ritual adat Jawa. Adapun konsep ngujutne, itu adalah sebagai berikut:
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mugi kalian matur dumateng poro Bapak lan sederek
kulo, ingkang sami pelenggahan wonten panggenan nipun. Boten namung kulo di
sambut wiraos kulo seklima dumateng kapure bageaken rawuh ipun Bapak lan
ngaturaken sembah pangabekti dumateng pernah sepah la ngaturaken dumateng
pernah nem sumrambah skadangepun. Boten among panjenengan sedoyo kerso
ngilangken langkah bucal tempo sauntawes memenuhi undanganepun. Kapure
anakseni niatipun bade ningkepi ingkang putro lan putri meniko dinten ingkang
kepengker nampi rezeki sangking pangeran rupinikun nur Muhammad juluk ipun
kunan jabang bayi ingkang dipun kandung mulai sewulan sehinggo pitung wulan.
Derek adat meniko lan dipun tingkepi lan di pitung wulani. Senjeng
titiwancine kunang jabang bayi lahir ampun enten alangan sak tunggal penopo.
Ngajeng dumogineng wingking botenanmung ngedalaken rezekineng pangeran meniko
terbagi sepindah ngedalaken bubur petak miwah abret. Bubur petak mukani
sumerep roh sangking bopo, bubur abret mukani sumerep roh sangking biung,
juluk ipun wamuko rahmuko kakang kawah adi ari-ari, kakang barep adineng
ragil. Tebih tampowangenan, celak tampo senggolan. Milo dingabeteni
ampunenten alangan sak tunggal penopo. Ngajeng dumugineng wingking sekul suci
ulam sari kangge mukani sumerep kanjeng nabi Muhammad sak kerabat, Abu Bakar,
Umar, Usman, Ali nilo dihormati sagetombangsulono teguh welujeng selamet
ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken pisang ayu sekar arum
nyukani sumerep mbok dewi pertimah ingkang jumeneng wonten Mekah Medinah.
Milo dimangebateni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten
alangan sak tunggal penopo. Nontennaken jajan pasar mukani sumerep malaikat
ingkang bagi rezeki milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet
ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken panggang mukanen sumerep
kanjeng sunan kalijogo ingkang jagi sak lebet ipun wangon sak jawanipun
kurung lan sak jawinipun karang sagetombangsulono selamet ampunenten alangan
sak tunggal penopo.
Nontennaken ambengan kangge mukani sumerep kaki datok nini datok kaki danyang
nini danyang seng barekso. Milo dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng
selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo. Nontennaken sekul gulung
nukani sumerep dinten pitu pekenan gangsal, sasi rolas windu wolu, wuku
tigang doso, tahun sekawan papat jatingarang sak peninggalane, milo
dingabeteni sagetombangsulono teguh welujeng selamet ampunenten alangan sak
tunggal penopo. Nontennaken among mukani sumerep kaki among nini among
ingkange mong kunang jabang bayine ingkang dipun kandung binjing
titiwancineng kunang jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten
alangan sak tunggal penopo. Poro lencang lan poro sederek nyambut sederek
nyambul damel wonten pawon mendek tuyo secawu’an ron setuek kajeng seceklek
ingkang dipun damel di tedeni sawa pandungone ingkang dipun ducal ampun
dadake kulo dadeake coyo nur coyo neng cekap semonten atur kawulo menawi
lepat nuwun pangapunten menawi enten kekirangane anggen kulo ngekralaken
nuwun mapan panggenan kiambak-kiambak lan nuwun pangapunten du mateng bapak
sederek kulo ingkang pelenggahan boten among kulo sampuni. Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Adapun kandungan dari “ngujutne” ini adalah proses tradisi ritual adat dari
tingkeban itu sendiri. Jadi, hal yang paling penting terkandung dalam prosesi
tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) sebagaimana terdapat dan diulang
berkali-kali dalam “ngujutne” adalah “jabang bayi lahir sageto welujeng
selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo” (Bayinya lahir dengan selamat,
tidak ada halangan sedikitpun, semuanya lancar dan sehat wal’afiat). Secara
rinci proses tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Pertama, siraman yang dilakukan oleh sesepuh dan suami. Tradisi siraman ini
dilakukan dengan cara memandikan wanita hamil menggunakan sekar setaman oleh
para sesepuh. Sekar setaman adalah air suci yang diambilkan dari tujuh mata
air (sumur pitu) ditaburi aneka bunga seperti kanthil, mawar, kenanga, dan
daun pandan wangi. Sesepuh yang bertugas menyiram sebanyak tujuh[11] (pitu)
orang ditambah suaminya sendiri. Siraman merupakan gambaran agar kelahiran
bayi kelak suci bersih. Bilangan tujuh, sebenarnya terkait dengan umur
kandungan tujuh bulan. Tujuh juga berasal dari bahasa Jawa pitu, berarti
pitulungun (pertolongan). Artinya, agar kelak bayi dapat dilahirkan dengan
mendapat pertolongan Tuhan.
Kedua, setelah siraman selesai, dilakukan tradisi memasukkan telur ayam
kampung ke dalam kain wanita hamil oleh sang suami melalui perut sampai
menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai simbol dan harapan semoga
bayi yang akan lahir mendapatkan kemudahan, seperti menggelindingnya telur
tadi. Pecahnya telur juga berarti keluarnya bayi dari kandungan ibu. Hal ini
tidak jauh berbeda dengan seekor ayam yang menetas dari sebuah telur, bayi
pun setelah “bertapa” di kandungan (guwa garba) ibu lalu lahir (weruh padhang
hawa). Kadang-kadang, jika sulit mendapatkan telur, diganti dengan tropong
(alat untuk mengikal benang tenun). Hal ini juga sebagai lambang agar kelahiran
bayi nanti mudah, tidak ada halangan.
Ketiga, wanita hamil lalu berganti-ganti kain batik sampai tujuh kali dan
diakhiri dengan kain bermotif sidamukti. Makna simbolik dari ritual ini,
dapat dirunut dari makna kata sidamukti yang berarti menjadi mukti (mulia)
atau bahagia. Hal ini sekaligus terkandung harapan agar kelak anak yang
dilahirkan dapat mendapat kemuliaan dan kesenangan hidupnya.
Keempat, kain sidamukti yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan
tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur
kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus
oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak
bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan
simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi.
Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh
suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang
diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah
mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa
anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga
suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti
upaya mengatasi kesulitan.
Kelima, seorang suami memegang kelapa gading muda, kemudian diteroboskan ke
dalam kain yang dipakai wanita hamil ke arah perut (ke bawah). Kelapa gading
tersebut menggelinding lalu diterima oleh calon nenek (ibu dari wanita
hamil). Calon nenek tersebut segera menggendong kelapa gading muda. Setelah
selesai, calon nenek dari pihak besan segera meneroboskan lagi seekor belut
yang masih hidup, dan belut tersebut harus ditangkap oleh suami dan kemudian
dimasukkan ke dalam sekar setaman. Setelah menangkap belut, suami harus pergi
(masuk rumah) tanpa pamit. Tradisi semacam itu sering dinamakan brojolan.
Kelapa gading yang dihiasi lukisan wayang Kamajaya dan Kamaratih tadi,
merupakan simbol harapan agar kelak bila bayi yang lahir perempuan cantik
seperti Dewi Ratih dan jika lahir laki-laki seperti Kamajaya. Belut yang
dilepaskan pada sela-sela kain, harus dikejar oleh suami sampai tertangkap,
merupakan lambang agar kelahiran bayi nanti dapat lebih cepat, licin seperti
belut. Simbolisasi demikian merupakan pola pemikiran asosiatif orang Jawa,
yaitu karakteristik belut yang licin dibandingkan dengan kelahiran bayi.
Keenam, seusai acara siraman di krobongan (luar rumah), ibu hamil diajak
masuk ke kamar dalam dan segera berdandan. Ibu hamil harus melakukan tradisi
jual dhawet dan rujak. Yang bertugas membeli para tamu menggunakan uang
buatan (kreweng) atau pecahan genteng. Uang tersebut dimasukkan ke dalam
kuali dari tanah. Kuali yang berisi uang tersebut dipecah di depan pintu oleh
ibu hamil. Hal ini bermakna agar kelak bayi yang lahir banyak mendapatkan
rezeki.
Ketujuh, kenduri sebagai syukuran. Pada saat ini, ada beberapa ubarampe
(sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
Tumpeng kuat, yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu
dibuat paling besar dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng
besar. Bilangan tujuh menggambarkan umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna
tumpeng kuat, sebagai lambang agar bayi yang lahir sehat wal afiat dan
orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin.
Keleman, yaitu sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela,
gembili, kentang, wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang
lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup sederhana.
Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk, mentimun, belimbing, pisang,
dan lain-lain, merupakan gambaran kesenangan.
Sega megana, yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat
lauk dan sayuran. Ini merupakan simbol bahwa bayi dalam kandungan tujuh bulan
telah berbentuk (gumana) sebagai manusia yang siap lahir. Bayi tersebut
secara fisik dan nonfisik diharapkan telah lengkap.
Ketan procot, yaitu ketan yang diaduk dengan santan dan setelah dimasukkan
dalam daun pisang memang dihidangkan. Yang perlu diketahui, daun pisang
tersebut harus berlubang kanan kirinya, tidak boleh ditusuk dengan biting.
Hal ini merupakan lambang agar kelak bayi lahir dengan mudah.
Pada acara kenduri ini, sebagaimana biasanya dilakukan pembacaan ayat-ayat
suci Alqur’an dan ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh seorang tokoh agama
(ustadz). Hal ini, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Kiswanto (Seorang tokoh
agama sekaligus juga menjabat sebagai Kepala Desa Sidomulyo) kepada penulis
di kantor Kepala Desa pada hari Senin, 10 November 2008. Ia juga mengatakan
bahwa tradisi adat Jawa masih terus kita lestarikan di tengah kondisi
masyarakat yang memang sudah mulai meminggirkannya. Tapi, pemerintah Desa
selalu memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan adat di Desa Sidomulyo.
Itulah proses secara umum dari tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) dalam
tradisi adat Jawa, yang juga dilaksanakan di Desa Sidomulyo.
|
10.
11.
Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual tingkeban/mitoni demikian,
memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan keselamatan.
Masyarakat Jawa menganggap mitoni sebagai ritual yang patut diperhatikan
secara khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna dan fungsi
cultural selamatan mitoni adalah: (1) untuk mewariskan tradisi leluhur, agar
tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan (2) untuk menjaga keseimbangan,
keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo) hidup
yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alam sekitar.
Selain itu, tradisi tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) menunjukkan karakter
masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif.
Hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan
Yang Maha kuasa). Sebagaimana ungkapan: ““jabang bayi lahir sageto welujeng
selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo”. Anak yang dikandung akan
terlahir dengan gangsar (mudah), sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak
ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang
selalu memproses diri melalui tazkiyatun nafsi (penyucian diri) untuk memohon
kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepada Allah Swt.
(Tuhan Yang Maha Kuasa).
|
12.
13.
Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi
pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini
memang merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam
sebagai agama yang dianut oleh mayoritas suku Jawa di Desa Sidomulyo. Namun,
sebagaimana hasil penelitian penulis, tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai
yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah Swt. dalam rangka
keselamatan dan kebahagiaan melalui laku suci (proses penyucian diri) dari
berbagai kotoran dan noda dosa yang selama ini telah dilakukan.
Paling tidak, dari tradisi ini terkandung nilai-nilai filosofis dalam
kehidupan, antara lain: pertama, melestarikan tradisi leluhur dalam rangka
memohon keselamatan. Hal ini tentunya memiliki nilai yang istimewa karena
melestarikan budaya yang baik merupakan kekayaan khazanah dalam kehidupan.
Dalam qaedah ushul fikh disebutkan “al-muhafazhah ‘ala qadim ash-shalih, wal
ahdzu bil jadidi al-ashlih” (Melestarikan tradisi lama yang baik, dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik). Kedua, menjaga keseimbangan,
keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono apo-apo). Ketiga,
karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif. Keempat, proses penyucian
diri (tazkiyatun nafsi) ketika memohon kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha Kuasa).
|
4. Tradisi Tujuh Bulanan Kehamilan, Islamikah ?
Dari depan sebuah rumah besar, terlihat adanya keramaian. Tampak
perangkat-perangkat adat daerah kawasan Indonesia tengah, tepatnya Sulawesi
Selatan dipajang di sekitar rumah, menandai sedang ada hajatan. Memang di rumah
itu sedang berlangsung upacara adat tujuh bulan kehamilan
ala Bugis
Bone yang dilakukan oleh sepasang suami istri dalam menyambut kedatangan anak
pertamanya. Upacara semacam ini pun dikenal di daerah lain di Indonesia
misalnya di daerah Jawa.
Tinjauan Syari’at
Setiap orang tua pasti mengharapkan anak yang bakal lahir kelak menjadi anak
yang baik dan dapat memenuhi harapan mereka terhadapnya. Apalagi sebagai
seorang muslim dan muslimah, harapan ditanamkan setinggi-tinggi agar anak yang
bakal lahir akan menjadi hamba Allah yang shalih dan berbakti kepada kedua
orang tuanya.
Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang
beragama Islam di atas, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang
dikandung. Dan tidaklah mereka melakukan upacara tersebut melainkan untuk
tujuan kebaikan dan keselamatan, harapan mereka agar anak yang akan lahir
menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama
dan bangsa.
Suatu tujuan yang mulia sebenarnya, yang andai ditimbang dengan perasaan ya…
rasanya baik juga upacara itu diadakan. Benarkah demikian?
Bila kita berbicara tentang syari’at, maka perasaan harus disingkirkan
karena agama itu dibangun bukan berdasarkan perasaan manusia.
Agama itu
adalah apa kata Allah Swt dan Rasul-Nya.
Acara tujuh bulanan di atas (maupun acara tujuh bulanan yang lain
menurut adat masing-masing) tidak ada dan tidak pernah dikenal dalam syari’at
Islam yang diturunkan kepada Muhammad Saw.
Seandainya itu baik, tentu yang paling pertama mengerjakannya adalah para
shahabat Nabi Muhammad Saw, yang mereka itu adalah orang-orang yang paling
bersegera dalam kebaikan dan telah dipersaksikan kebaikan mereka oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Lalu kalau ada yang mengatakan: “Itu memang bukan dari Islam. Itu kan hanya
adat dan yang demikian sudah umum di tengah masyarakat kita.”
Maka dijawab bahwa kalau itu hanya adat maka tidak boleh bertentangan dengan
syari’at Islam, bilamana bertentangan maka sekali-kali kita tidak boleh
melakukannya, dan ukurannya bukan sudah umum atau belum umum bagi masyarakat.
“Pada asalnya ibadah itu tidak disyari’atkan untuk mengerjakannya
kecuali apa yang telah disyari’atkan Allah Swt. Sedangkan adat itu pada asalnya
tidak dilarang untuk mengerjakannya kecuali apa yang dilarang Allah Swt”
Syari’at Islam memang menghasung para orang tua agar berupaya memiliki anak
yang shalih dan berharap agar anak dapat lahir dengan selamat, namun tidak
berarti segala cara harus ditempuh.
Allah Swt telah menurunkan Islam kepada kita, yang berisi aturan-aturan
hidup yang sangat lengkap dan sempurna. Dalam permasalahan penjagaan
keselamatan anak (
janin yang dikandung) dari gangguan setan
(yang
mereka istilahkan ruh-ruh jahat dalam upacara adat yang biasa dilakukan),
jauh sebelum kehamilan sang anak, Islam telah menetapkan aturan lewat lisan
Rasulullah Saw. Beliau menuntunkan kepada seorang suami yang ingin berjima’
dengan istrinya agar berdoa:
Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan
dari apa yang Engkau anugerahkan pada kami. Apabila ditakdirkan bagi mereka
berdua seorang anak (dari jima’ tersebut) maka setan tidak akan memberi
mudharat pada anak tersebut. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad)
Dalam hadits di atas terkandung pengarahan bagi orang tua agar tidak
meninggalkan doa. Doa akan dapat melindungi anak dan membentenginya dari
gangguan setan tatkala (calon anak tersebut) diletakkan dalam rahim. Hal ini
karena setan terus-menerus mendekati (atau bersama) dengan anak Adam dan tidak
akan menjauh darinya kecuali bila anak Adam itu berdzikir kepada Allah dan
memohon perlindungan kepada-Nya dari gangguan/godaan setan. Inilah perhatian
Islam yang besar terhadap penjagaan janin yang dikandung seorang ibu, sejak
dimulainya pembentukan janin tersebut dalam rahim ibunya sampai terlahir ke
alam ini.
Islam menuntunkan bagi wanita yang sedang hamil untuk terus memberi makan
pada janinnya agar dapat tumbuh berkembang dengan baik. Karena itulah syari’at
Islam memberikan keringanan (
rukhshah) untuk berbuka puasa bagi wanita
hamil, baik puasa wajib terlebih lagi puasa sunnah.
Islam juga menuntunkan agar setiap hamba senantiasa berupaya untuk terus
mendekatkan dirinya kepada Dzat yang telah menciptakannya dan memberikan nikmat
kepadanya. Karena itu yang paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama
masa kehamilannya adalah memperbanyak taqarrub (
mendekatkan diri)
kepada Allah Swt dengan ibadah seperti shalat, doa, dzikir dan membaca
Al-Qur’an. Ini penting sekali untuk menambah bekal keimanan seorang ibu, yang
dengan iman tersebut insya’ Allah ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh orang tua, bahwasanya seorang anak
bisa tetap menjadi manusia yang baik selama fithrahnya terus dijaga dan dididik
dengan tarbiyah islamiyah yang shahihah. Karena itu bila orang tua mendambakan
agar anaknya kelak menjadi “manusia yang baik” dalam arti yang sebenarnya, maka
hendaklah mereka mulai dari diri mereka sendiri, menyiapkan diri, berbekal ilmu
dan amal.