“Tentang Maulid Nabi Muhammad SAW”
ketegori Muslim. Assalaamu alaikum wr. wb.
Pak ustadz, saya mau bertanya
seputar tentang Maulid Nabi Muhammad SAW yang setiap tanggal 12 Rabiul Awwal
selalu diperingati oleh banyak ummat Islam di Indonesia. Dan juga bagaimana
hukumnya? Terima kasih atas jawabanya.
Wassalaamu ‘alaikum wr. wb.
Maksum
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wrahmatullahi
wabarakatuh,
Fakta yang sesungguhnya dari
kehidupan Rasulullah SAW menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan
beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan
para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan
ihtifal secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena
memperingati kelahiran Nabi SAW.
Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan
ritual maulid nabi SAW juga tidak pernah kita dari generasi tabi’in hingga
generasi salaf selanjutnya. Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak
pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan
oleh Rasulullah SAW, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya.
Perayaan maulid nabi SAW secara
khusus baru dilakukan di kemudian hari. Dan ada banyak versi tentang siapa yang
memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon Shalahuddin Al-Ayyubi yang
mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena
saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga
terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan
maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada akhir abad
keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al-A’yad wa atsaruha
alal Muslimin oleh Dr. Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal. 285-287. Disebutkan
bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap
tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, asyura, maulid Nabi sAW
bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid
Fatimah dll. .
Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa
perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi SAW
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid nabi SAW seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid nabi SAW seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
1. Mereka berargumentasi dengan apa
yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa
Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya
mengenai perbuatan menyambut kelahiran nabi SAW. Beliau telah memberi jawaban
secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada
300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan dan
perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan
yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu terpelihara
dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam perbuatan
bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip perkara-perkara
yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam bida’ah hasanah.
2. Selain pendapat di atas, mereka
juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu
Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab ikut
bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski
dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi
kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah,
yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi SAW.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih
Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam
kitabnya Siratunnabi jilid 1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin
Ad-Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as-sadi fi Mawlid al-Hadi : Jika
seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya
diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh
hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan
menyebut Ahad ?
3. Hujjah lainnya yang juga diajukan
oleh para pendukung maulid Nabi SAW adalah apa yang mereka katakan sebagai
pujian dari Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu Hajar telah
menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at al-thamina’
bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk maulid Nabi di
penghujung hidupnya, Malam kelahiran NabiSAW merupakan malam yang mulia, utama,
dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum
mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan
malam yang tidak ternilai.
4. Para pendukung maulid nabi SAW
juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi Rasulullah SAW
berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu
merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia.
Abu Qatadah Al-Ansari meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin,
menjawab, Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi
Rasul.
Hadits ini bisa kita dapat di dalam
Sahih Muslim, kitab as-siyam
Pendapat yang Menentang
Namun argumentasi ini dianggap belum
bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni maulid nabi SAW.
Misalnya cerita tentang
diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang
diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat
kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran nabi dengan berbagai
ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan
siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun
merayakan lahirnya nabi SAW akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari
Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk melakukan
sermonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana
Nabi SAW lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa
Rasulullah SAW berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan hari
kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat dilakukan bukan
berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau
berittiba’ pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah
hari Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang
perayaan maulid nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum
Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya kebiasaan
ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram hukumnya untuk
diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullah SAW tidak pernah
menganjurkannya atau mencontohkannya.
Dahulu para penguasa Mesir dan
orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu
perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara
perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa
al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang.
Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan
hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid
mengatakan bahwa semua bentuk perayaan maulid nabi yang ada sekarang ini adalah
bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk
menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung maulid
nabi SAW tidak rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid’ah. Sebab dalam
pandanga mereka, yang namanya bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah
saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh
para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa
diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku
tentang kisah nabi SAW. Padahal di masa Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau
anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah
berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam
memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga
bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual
ibadah. Dankeberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin
mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis
dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung
maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku.
Bedanya, sejarah nabi SAW tidak ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari,
bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan
melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena
kisah nabi disampaikan dalam bentuk syair yang indah.
Dan semua itu bukan termasuk wilayah
ibadah formal melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa
segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung
melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari umat Islam,
barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau
pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk
menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan,
saling tuding, saling caci dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum
merayakan maulid nabi SAW, suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari
zaman dulu. Para pendahulu kita sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang.
Sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya
lantaran masih saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini,
sebagai umat Islam, kita justru sedang berada di depat mulut harimau sekaligus
buaya. Kita sedang menjadi sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah
waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri,
hanya lantaran masalah ini.
Sebaliknya, kita justru harus saling
membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. Perbedaan pandangan
sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk
terus bertikai, maka para pemangsa itu akan semakin gembira.
Wallahu a’lam bishshawab,
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar